Di antara para ulama besar Nusantara, nama Syaikhona Muhammad Kholil dari Bangkalan Madura senantiasa harum dikenang. Ia bukan sekadar tokoh agama, tetapi juga mahaguru yang membentuk generasi ulama dan pemimpin umat dari berbagai penjuru Indonesia.
Awal Kehidupan dan Pendidikan
Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Latif bin Hamim bin Abdul Karim bin Muharram lahir pada 9 Safar 1252 H di Bangkalan, Madura. Sejak kecil, ia tumbuh dalam lingkungan religius. Pendidikan pertamanya diperoleh dari sang ayah, Kiai Abdul Latif, yang mengajarkannya membaca Al-Qur’an serta menghafal berbagai kitab klasik.
Perjalanan intelektualnya kemudian menembus batas lokal. Ia belajar ke berbagai pesantren di tanah Jawa hingga akhirnya menuntut ilmu ke Haramain (Mekah dan Madinah) sejak usia sembilan tahun. Di sana, ia berguru pada para ulama besar seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Ibrahim al-Bajuri, dan banyak lainnya.
Dalam kurun waktu sekitar 30 tahun, Syaikhona bolak-balik antara Nusantara dan Haramain sebanyak tujuh kali, mendalami ilmu agama secara menyeluruh: tafsir, hadis, fikih, nahwu, sharaf, tasawuf, dan lainnya.
Kiprah Sebagai Guru dan Ulama
Sepulangnya ke tanah air, Syaikhona membangun pesantren dan menjadi magnet keilmuan. Ia dikenal sebagai Syekh al-Jawiyyin — mahaguru bagi orang Jawa dan sekitarnya. Dikisahkan, lebih dari 500.000 santri pernah belajar kepadanya, dan sekitar 3.000 orang menjadi pemimpin umat di berbagai wilayah, termasuk Jawa, Sumatera, dan Madura.
Banyak di antara muridnya adalah keturunan Arab yang kemudian menyandang gelar al-‘Allamah, al-‘Arif billah, atau al-Faqih. Karismanya begitu kuat, sampai masyarakat Madura menyebutnya penuh barakah dan mistik.
Jejak Sejarah dan Konteks Sosial
Syaikhona hidup dalam masa penuh dinamika, dari penjajahan Hindia Belanda hingga penghapusan sistem kerajaan Madura. Ia menyaksikan runtuhnya Keraton Bangkalan dan dibunuhnya Pangeran Pakuningrat — sebuah tragedi yang menjadi latar kelam dalam hidupnya.
Dalam masa kolonial itu pula, Madura dikenal sebagai pusat produksi garam dan lahan kerja paksa. Namun, semangat keislaman dan keilmuan tetap membara di bawah naungan pesantren-pesantren seperti milik Syaikhona.
Warisan Fisik dan Intelektual
Hingga kini, warisan Syaikhona tersebar dalam bentuk masjid (terdapat setidaknya 10 masjid yang ia dirikan di Madura), pondok pesantren, dan terutama naskah-naskah keilmuan.
Lebih dari 30 karya tulis berhasil didokumentasikan, sebagian besar ditulis dalam bahasa Arab dengan makna gantung (pegon) Jawa-Madura. Karya-karyanya meliputi berbagai bidang:
· Nahwu dan Sharaf: Nuzhatut Thullab, Albina, Tafsir Alfiah Ibnu Malik
· Fikih: Takrir Rabb Matan al-Jurumiyah, Asilah fi Bayan al-Nikah, Istidadul Maut
· Tasawuf dan Akidah: Lamyah Ibnul Wardi, Tafsir (976 halaman)
· Teks Ritual: Ratib Syaikhona Khalil, Doa Khatmil Qur’an, Barzanji
Karya-karya ini menunjukkan kedalaman ilmu dan keluasan pandangannya. Tak hanya menjadi rujukan santri di Madura, tetapi juga menjadi warisan intelektual yang hidup sampai hari ini.
Syaikhona Muhammad Kholil bukan hanya milik Madura, tapi milik bangsa ini. Ia adalah simbol keilmuan, keteguhan, dan karismatik dalam membentuk peradaban Islam di Nusantara. Keberkahan ilmunya masih terasa, jejak kakinya masih diikuti, dan cahaya perjuangannya terus menyinari pesantren dan masyarakat Indonesia.