Tantangan Dokter Sugeng kepada Universitas Al Khairaat

 


Antara Ilmu Pengetahuan, Kejujuran Intelektual, dan Klaim Keturunan Nabi

Oleh: Tim Redaksi

Dalam dunia akademik, kebenaran ilmiah tidak hanya diukur dari warisan narasi sejarah atau klaim tradisional, tetapi melalui pembuktian yang dapat diverifikasi secara metodologis. Hal inilah yang menjadi dasar dari tantangan terbuka yang dilontarkan oleh Dokter Sugeng kepada Universitas Al Khairaat, sebuah institusi pendidikan Islam terkemuka di kawasan timur Indonesia yang didirikan oleh tokoh besar, Habib Idrus bin Salim Aljufri—lebih dikenal sebagai Guru Tua.

Melalui sebuah video yang telah beredar luas di berbagai platform, Dokter Sugeng mempertanyakan validitas klaim garis keturunan dari Guru Tua yang menyatakan bahwa beliau adalah seorang Sayyid, yaitu keturunan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Imam Ali dan Fatimah Azzahra. Klaim ini, menurut Sugeng, mengandung konsekuensi teologis, sosiologis, dan politik yang besar, dan karenanya layak diuji melalui pendekatan ilmiah modern—terutama melalui tes genetika.

Landasan Tantangan: Ilmiah dan Filosofis

Sugeng bukanlah figur sembarangan dalam melontarkan kritik. Sebagai praktisi medis sekaligus peminat sejarah, ia mengangkat prinsip “burden of proof”—bahwa pihak yang mengklaim sebuah kebenaran memiliki beban untuk membuktikannya. Dalam konteks ini, pihak yang menyatakan bahwa Guru Tua adalah keturunan Nabi Ibrahim secara paternal wajib menyediakan bukti yang dapat diuji, bukan hanya mengandalkan manuskrip sejarah atau silsilah tradisional yang kerap bersifat naratif dan tidak selalu terverifikasi.

Menurutnya, Universitas Al Khairaat—dengan berbagai fakultas yang berkaitan dengan ilmu hayati seperti kedokteran, pertanian, dan perikanan—mestinya mampu menyediakan pendekatan saintifik untuk membuktikan atau menolak klaim tersebut. “Kalau memang Universitas ini punya ilmu biologi, kenapa tidak dipakai untuk membuktikan klaim paling fundamental yang mereka bawa?” ujar Sugeng dalam videonya.

Dampak Sosial dari Gelar ‘Sayyid’

Gelar “Sayyid” di masyarakat Muslim memiliki nilai yang sangat tinggi. Ia bukan hanya menyatakan kebangsawanan spiritual, tetapi juga bisa berimplikasi pada status sosial, keagamaan, dan bahkan politik. Tidak sedikit tokoh yang mendapatkan penghormatan, pengaruh, bahkan posisi kepemimpinan, karena dianggap memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad SAW.

Dalam konteks Habib Idrus bin Salim Aljufri, klaim nasab ini menjadi semakin krusial karena ia sedang diajukan sebagai calon pahlawan nasional. Dalam dokumen resmi pengajuan gelar tersebut, nama beliau tercantum lengkap dengan gelar “Sayyid.” Sugeng menganggap hal ini bermasalah jika tidak dibarengi dengan pembuktian yang akurat, karena bisa menimbulkan preseden buruk dalam pemaknaan gelar dan sejarah bangsa.

Ilmu Genetika sebagai Jalan Pembuktian

Sugeng menawarkan pendekatan konkret untuk membuktikan atau menolak klaim tersebut: melalui tes genetika berbasis Next Generation Sequencing (NGS) atau Whole Genome Sequencing (WGS). Tes ini dapat memetakan kromosom Y, yang hanya diturunkan dari ayah ke anak laki-laki dan dapat melacak garis paternal hingga ribuan tahun ke belakang.

Tiga poin pembuktian yang ia usulkan antara lain:

  1. Menghitung jarak genetik keluarga Aljufri dengan kelompok Sayyid Alawiyyin, yakni komunitas yang secara historis mengklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Imam Husein bin Ali.
  2. Membandingkan jarak genetik dengan kelompok Arab lain, seperti Bani Tamim, Bani Mutair, dan Bani Quraisy, yang memiliki hubungan genetik dan geografis dengan Nabi Muhammad SAW.
  3. Membandingkan dengan kelompok Kohanim (Kohen) dari kalangan Yahudi Ortodoks, yang diklaim sebagai keturunan langsung Nabi Harun, saudara Nabi Musa, yang juga keturunan Nabi Ibrahim dari jalur Ishaq.

Dengan membandingkan jarak genetik antara individu dari keluarga Aljufri dan kelompok-kelompok ini, dapat diketahui apakah benar mereka termasuk dalam klan genetik Semitik atau justru berasal dari etnis lain seperti Afrika Timur, India Selatan, atau Asia Tenggara.

Kritik terhadap Sumber Sejarah Tradisional

Sugeng juga menyinggung bahwa narasi tentang keturunan Guru Tua dari Nabi Ibrahim banyak bersumber dari dokumen tidak resmi yang tidak dapat diverifikasi secara akademik. Ia bahkan menyebut bahwa halaman Wikipedia yang sempat memuat klaim tersebut sudah dihapus karena tidak memenuhi standar verifikasi ilmiah. Dalam dunia akademik, sumber yang tidak dapat diverifikasi biasanya dianggap tidak sahih dan tidak dapat dijadikan dasar pengetahuan.

Ia mengajak agar pembuktian nasab tidak hanya berpatokan pada dokumen silsilah yang diturunkan secara lisan atau manuskrip lama yang rentan manipulasi. “Kita sudah hidup di zaman DNA, masa masih percaya cerita dongeng dari mulut ke mulut?” sindirnya tajam.

Seruan Terbuka untuk Kejujuran Akademik

Pada bagian akhir videonya, Sugeng menegaskan bahwa tantangan ini bukan bertujuan untuk menjatuhkan martabat Guru Tua ataupun menghina keturunan beliau. Sebaliknya, ia ingin membuka ruang dialog ilmiah yang jujur dan transparan demi menjaga integritas ilmu pengetahuan dan nama baik institusi pendidikan Islam.

“Kalau tidak mampu membuktikan, ya harus jujur. Karena sebagai ilmuwan tidak boleh berbohong. Salah itu wajar, tapi bohong itu pilihan,” tegasnya.

Ia mengajak seluruh civitas akademika Universitas Al Khairaat untuk bersikap terbuka terhadap kritik, dan menjawab tantangan ini dengan penelitian, bukan emosi atau pembelaan sentimental. Ia percaya, jika Universitas Al Khairaat berani mengambil langkah ini, mereka akan menjadi pelopor dalam membuktikan bahwa Islam dan ilmu pengetahuan bisa berjalan berdampingan.

Sains dan Keimanan, Musuh atau Sekutu?

Tantangan dari Dokter Sugeng membuka diskursus menarik antara sains dan tradisi, antara keimanan dan metode ilmiah. Apakah klaim spiritual dan warisan keagamaan bisa diuji dengan teknologi modern? Apakah umat Islam siap menerima hasilnya jika ternyata berbeda dari narasi turun-temurun?

Universitas Al Khairaat kini dihadapkan pada pilihan penting: menjawab tantangan ini secara ilmiah, atau membiarkan klaim tersebut tetap menjadi bagian dari keyakinan tak terbantahkan. Apapun pilihan mereka, yang jelas, dunia akademik dan masyarakat luas sedang menyaksikan.

 

Sumber : Sugeng Sugiharto Chanel

Pic : Web Al Khairaat

Lebih baru Lebih lama